BOGOR, (PRLM).- Setting suhu yang kurang tepat pada ikan tuna yang akan diekspor oleh Indonesia menyebabkan standar mutu ikan tuna hasil nelayan kita sering mendapat penolakan dari berbagai negara importir. Pasalnya, setting suhu yang kurang tepat menyebabkan kandungan histamin dalam ikan tuna melebihi ambang batas dan bisa menyebabkan keracunan.
Hal ini diungkapkan mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, Sherly Gustia Ningsih yang melakukan penelitian bersama dengan Minal Fitrani dan Ibnu Affiano tentang "Setting Suhu pada Ikan Tuna untuk Menghindari Histamin" yang dibimbing oleh dosen pendamping Ir. Wini Trilaksani, M.Sc., Rabu (3/8).
Dikatakan Sherly, hasil penelitian tentang kadar histamin berdasarkan
pada pengelompokan bagian tubuh ikan menunjukkan bahwa bagian perut
ikan memiliki kadar histamin yang paling tinggi dibandingkan dengan
bagian depan dan ekor pada setiap perlakuan suhu penyimpanan. Hal ini
dikarenakan bagian perut ikan merupakan sumber mikroba pembusuk pada
ikan. Pengaruh berbagai suhu setting penanganan terhadap histamin ikan tuna dan bakteri pembentuknya, lanjut
Sherly menunjukkan suhu 0-1 derajat Celsius dan 4 derajat Celsius tergolong sebagai suhu yang optimal untuk mempertahankan kesegaran ikan tuna dari berbagai parameter analisis.
Penelitian tersebut diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan ekspor tuna Indonesia dengan penurunan kadar histamin dalam tubuh tuna. "Ke depan perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan perlakuan lama waktu penyimpanan, sehingga didapatkan data yang dapat menggambarkan perubahan mutu ikan tuna dalam masa penyimpanan dan saat transportasi berlangsung," ujar Sherly.
Lebih lanjut disampaikan Sherly, penelitian ini didasari pada kenyataan bahwa ikan tuna (Thunnus sp.) termasuk salah satu primadona ekspor Indonesia. Hanya saja, beberapa tahun terakhir perdagangan ikan tuna Indonesia ke sejumlah negara mengalami kendala penolakan oleh negara importir. "Sebagian besar karena standar mutu yang tidak terpenuhi, yakni kadar histamin yang melebihi ambang batas," kata Sherly.
Lebih lanjut dikatakan Sherly, berdasarkan laporan Food and Drugs Administration Amerika Serikat (US-FDA), terdapat 7 kasus pada tahun 2007 dan 13 kasus pada tahun 2008 terkait penolakan tuna Indonesia. "Trennya yang naik dari tahun ke tahun membuat kami khawatir, jika terus dibiarkan potensi kita tidak bisa dimanfaatkan dengan baik hanya karena kadar histamin yang melebihi ambang batas keamanan pangan," ujarnya.
Berdasarkan catatan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa pada tahun 2007 ada sebanyak 22 kasus impor tuna Indonesia yang mengandung histamin melebihi batas keamanan pangan. Bahkan, bahkan Indonesia sempat mengalami ancaman embargo pada tahun 2005. Histamin merupakan komponen amin biogenik yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi.
Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk penyimpanan dan penanganan yang salah.
Kadar maksimal histamin yang ditetapkan oleh US-FDA adalah 50 ppm, sedangkan European Comission (EC) menetapkan kadar histamin tidak lebih dari 100 ppm. Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dapat terjadi akibat adanya enzim yang terdapat secara alami dalam jaringan ikan, pembentukan berlangsung selama proses autolisis.
Pada kondisi optimum jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak dapat melebihi 10–15 mg/100 gram daging ikan. Pembentukan histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung pada kandungan histidin.
"Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino bebas lainnya menjadi histamin yang mempunyai karakter lebih bersifat alkali," ungkap Sherly menambahkan.
Histamin, lanjut Sherly umumnya dibentuk pada temperatur tinggi, yakni lebih dari 20 derajat celcius. Pendinginan dan pembekuan yang cepat, segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan scombrotoxin (histamin).
Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan dibawah suhu 5 derajat Celsius. Keracunan histamin biasanya diawali dengan gejala sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah. (A-155/A-88)***
PS:
Ini adalah salah satu artikel tentang penelitian ilmiah gue dan tim yang dimuat oleh harian republika online. Sejak menang PIMNAS, team gue emang sering dapet panggilan wawancara baik dari radio maupun media-media online, surat kabar & sejenisnya. Sayangnya gue ga bisa ikut sesi-sesi wawancara itu karena udah balik ke lampung. Yang setia meladeni mereka adalah sherly. Adik kelas gue yang tadinya cuma gue catut namanya (karena gue menganggap namanya bawa hoki, terbukti lagi dari proposal ini,hihihi) tapi belakangan dia punya peran sama pentingnya dalam team ini. Dia orang yang mau belajar dan mendengarkan (dewasa banget deh dia), walhasil dari yang tadinya gak tau apa-apa tentang penelitian ini, karena keuletannya belajar dia jadi ga kalah menguasainya dari gue tentang materi penelitian ini (keren kan dia).
Oiya dari proposal penelitian ilmiah ini kita dapet kucuran dana penelitian sekitar 7,6 juta dari 10 juta yang diajukan (lumayan banget kan), belum lagi hadiah-hadiah dan pengalaman yang kita dapet saat PIMNAS, waah double wow, super Awesome^^V
No comments:
Post a Comment